sastra


Jumat, 30 November 2007

Ia Ingin Anaknya

Oleh Badru Tamam Mifka

Perempuan muda itu bernama Ida. Ia tinggal di sebuah kampung di pinggiran kota Bandung. Orang-orang di kampung tahu tentang Ida. Mereka sebut Ida orang gila, barangkali tak lebih. Menurut cerita tetangga, ia berkali-kali gagal berumah tangga. Ia stress. Anggapan Ida gila mulai muncul sejak rumah tangga Ida dengan suami ketiganya berantakan. Rumah tangga yang tak menyenangkan. Banyak pertengkaran. Kasar. Seringkali Ida dikurung suaminya di kamar terkunci. Ida menangis, berkali-kali menanyakan anaknya, lalu menjerit dan mencakar-cakar apa saja, melemparkan barang apa saja. Ida makan, buang hajat, kencing dan tidur di ruangan yang sama. Ia diperlakukan seperti hewan. Tapi ia terus menanyakan anaknya. Padahal Ida tahu, anaknya tak pernah kembali lagi, mungkin selamanya...

Perempuan muda itu bernama Ida. Kelahiran tahun 1980. Tapi usia remajanya gamang. Di usianya 16 tahun, Ida sudah dijodohkan. Pertengahan tahun 1996, ia dijodohkan oleh pamannya dengan seorang tukang becak di desanya. Awalnya Ida menolak perjodohan itu. Tapi pamannya keras kepala. Tapi katanya paman main guna-guna. Dan seperti juga gadis-gadis sebayanya di kampung ini, Ida harus menurut ketika terpaksa berhenti sekolah sejak SD dan segera dikawinkan oleh keluarganya. Padahal, menurut temannya, Ida anak yang lumayan pintar, tapi sayang sekolahnya harus terlantar. Tak jarang Ida membayangkan bisa seperti Farid anak tetangga yang bisa sekolah sampai SMP. Atau seperti Dindin yang bisa sekolah sampai SMA. Tapi Ida dibilangin bapaknya bahwa perempuan mah sudah beruntung bisa sekolah di bangku SD juga. Sekarang tinggal menunggu lelaki yang ngajak kawin saja. Soal sekolah, ibunya bilang Ida lebih beruntung darinya, dari perempuan-perempuan di kampung ini yang kebanyakan tak bisa baca dan tulis; perempuan-perempuan yang akhirnya jadi buruh tani, seperti dirinya.
Pamannya juga bilang Ida harus tahu diri, bahwa bapak dan ibunya keluarga tak punya. Ida harus berhenti jadi beban orang tua. Ida harus nurut ini-itu, termasuk dijodohkan dengan Karim, tukang becak itu. Akhirnya Ida pasrah. Meski ia sadar, ia belum begitu akrab dengan Karim teman pamannya itu. Tapi paman bilang, yang penting berumah tangga, jadi isteri baik pada suami dan tak lagi jadi beban orang tua.
Tapi Ida ingat adik-adik perempuannya. Kedua adiknya yang akan jadi beban orang tua. Kedua adiknya yang mesti segera dipikirkan karena mereka juga terlalu dini putus sekolah dan usia mereka belum dewasa. Ida selama ini yang mengurus mereka. Ida khawatir meninggalkan mereka. Tapi bapaknya bilang, mereka sudah bukan anak ingusan lagi. Mereka sudah bisa makan dan mandi sendiri. Jadi Ida tak perlu khawatir. Toh Ida tak kawin dengan orang jauh. Ida juga masih bisa tinggal di rumah ini.
Setelah beberapa hari dipikirkan, Ida akhirnya mau menikah. Pernikahan pun diadakan sederhana dengan biaya minim dari kedua orang tua pasangan. Mulailah Ida berumah tangga. Meski mereka masih menumpang tinggal di rumah orang tua Ida, terkadang di rumah orang tua Karim. Hari demi hari berganti, Ida melayani suami sepulang kerja, memasak untuk makan sehari-hari dengan jatah gaji 10.000/ bulan dari suaminya. Ida seringkali mengeluh soal biaya kecil itu pada ibunya. Ia tak jarang membayangkan punya uang sendiri, jadi TKW seperti Surti. Jadi buruh pabrik seperti Aminah dan Lia. Tapi itu semua tak pernah terjadi.
Tapi belakangan Ida gembira ketika salah satu adiknya bisa jadi buruh pabrik. Bapaknya yang bantu ia masuk kerja. Ia pinjam dulu uang sana-sini untuk biaya anaknya masuk pabrik. Ida pikir, keluarganya sudah mulai terbantu dengan penghasilan adiknya kelak. Meski Ida tahu, upah kerja pabrik bagi adiknya sangat minim sekali. Tapi itu barangkali cukup untuk menghidupi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Ida memang merasa harus mulai menerima kenyataan. Ia sudah berumah tangga dan pengalaman baru ini akan coba ia jalani dengan baik. Meski ia bilang pada ibunya, godaan seringkali datang. Suaminya seringkali mengeluh bosan dengan makanan yang Ida masak sehari-hari. Makanan yang itu-itu juga. Mendengar itu seringkali ibunya khawatir dan tak segan memberi uang tambahan pada Ida untuk kebutuhan sehari-hari.
Tapi setelah beberapa minggu usia pernikahan Ida dan Karim, kesedihan yang sebenarnya baru dimulai. Ida mendengar kabar suaminya selingkuh dengan Lilis, mantan pacar suaminya. Ida sakit hati mendengar kabar itu. Perasaannya sangat terpukul. Dengan amarah yang tak tertahankan, Ida mulai menanyakan kabar itu pada suaminya. Ia mendesak agar suaminya mengakui perselingkuhannya. Awalnya Karim mengelak, pertengkaran pun tak bisa dihindari. Sampai akhirnya Karim mengakui perselingkuhan dan ia malah balik marah-marah, merasa paling benar, bahkan berlaku kasar pada Ida. Rambut Ida di jambak. Muka Ida di cakar. Karim memaki-maki Ida hingga membuat Ida sakit hati dan menangis. Ida shok, dan mengadukan masalah suaminya itu pada orang tuanya. Bapak dan ibunya seolah tak bisa apa-apa. Mereka hanya menyuruh Ida untuk sabar saja. Bapak bilang, pamali melawan suami. Pamannya juga kini tak mau tahu urusan rumah tangga mereka. Dia kabur.
Ida memang pernah bilang pada ibunya, suatu hari Karim pernah punya niat mencari isteri muda. Tapi saat itu Ida menolak. Ida bilang mungkin suaminya terpengaruh oleh sebagian orang di desa ini yang punya isteri dua. Saat itu Ida bilang pada suaminya mereka orang-orang punya duit, sedangkan Karim hanya tukang becak. Karuan saja saat itu Karim tersinggung dan marah besar. Terjadilah pertengkaran diantara mereka.
Beberapa hari kemudian, setelah pertengkaran itu, terdengar kabar Karim selingkuh. Mengetahui suaminya selingkuh, Ida tak terima. Ida memutuskan untuk minta cerai pada Karim. Tapi keinginan itu dihiraukan suaminya. Ida malah dibentak-bentak dan ditampar. Karuan saja Ida kian tak tahan hidup dengan Karim. Ia pun tak takut terus mendesak minta cerai pada Karim. Tapi Ida kesulitan mengajukan cerai. Ida malah dibingungkan masalah alasan-alasan cerai, peraturan yang berbelit-belit dan pengajuan yang seringkali diabaikan begitu lama. Sementara Karim hilang berminggu-minggu, entah kemana. Suatu hari, Ida bertemu dengan Karim. Mulai saat itulah akhirnya mereka bercerai. Dan karim, menurut kabar, kembali bersama pacarnya dulu.
Perasaan Ida terguncang dengan kejadian itu. Hari demi hari Ida terlihat murung. Ia seringkali mengurung diri di kamarnya. Sesekali menangis dan marah-marah. Ia tak mau mendengar obrolan-obrolan tak enak dari tetangga. Ia ingin sekali pergi dari kampung ini. Ida stress. Kedua orang tuanya semakin sedih melihat kondisi anaknya. Mereka berusaha menghibur. Mereka berusaha mengobati persaan anaknya yang hancur...
***

Beberapa bulan lewat. Ida sudah mulai melupakan ingatan pengalaman buruknya dengan Karim. Ia sudah mulai mau keluar rumah dan berusaha menghibur diri. Sesekali ia ikut bersama teman sekampungnya jualan di pasar. Atau ikut bekerja bersama ibunya yang buruh tani. Sampai suatu hari, ia diperkenalkan oleh temannya pada lelaki asal Lembang. Namanya Lukman. Tak lama lelaki itu mengajak Ida kawin. Setelah dipikir lama dan perasaan lain untuk mengurangi setiap beban yang menimpa dirinya, Ida memutuskan untuk menikah lagi. Ia berharap pernikahannya kali ini dapat melupakan luka hatinya dan suaminya yang baru mampu menolong kehidupannya, juga nasib keluarganya.
Setelah pernikahan sederhana itu, Ida diboyong oleh suaminya tinggal bersama keluarga suaminya di Lembang. Awalnya Ida menolak. Tapi setelah suaminya berkali-kali membujuk, akhirnya Ida mau. Di bulan pertama, kehidupan rumah tangga mereka di Lembang berjalan apa adanya. Suami yang bekerja jadi buruh pabrik akan memberinya nafkah 50.000/ bulan. Tak lama kemudian Ida hamil. Ida sangat gembira. Baru pertama kalinya dia hamil. Ia ingin cepat mengabari orang tuanya di Bandung. Tapi sejak masa kehamilan itu, suasana kehidupan rumah tangganya mulai berubah. Selama kehamilannya Ida tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari suaminya. Suami jadi bersikap tak acuh, dingin dan jarang pulang ke rumah.
Bahkan, ketika suaminya tak ada di rumah, Ida diperlakukan tak wajar oleh keluarganya. Kalau mau makan nasi satu piring saja Ida disuruh harus menyabit rumput dulu satu karung untuk makan kelinci. Kejadian itu berlangsung lama. Ida coba mengeluh hal itu pada suaminya, tapi tak dipedulikan. Karena tidak tahan dengan penderitaannya, Ida akhirnya meminta suaminya untuk mengantarkannya pulang ke Bandung. Ida mengeluh pada keluarganya soal kehidupan rumah tangganya di Lembang. Kemudian orang tua Ida memintanya tinggal di Bandung selama kehamilan.
Mereka khawatir dengan perempuan mengandung. Mereka jadi ingat kematian Isah saudara warga sekampung saat hamil karena tak terurus. Merekapun tak mau kejadian itu menimpa anak mereka. Sebisa mungkin mereka mengurus kehamilan Ida di rumah. Tapi, beberapa minggu tinggal di rumah, bayi dalam kandungan Ida meninggal. Ida sangat sedih sekali menghadapi kenyataan ini. Ia seringkali lama menangis di hadapan orang tuanya, menyesali nasibnya. Bahkan Lukman jarang menengoknya ke Bandung. Ia benar-benar tak peduli.
Ketika Ida mengabari Lukman soal meninggalnya bayi mereka, Lukman malah marah-marah dan menuduh Ida tak becus ngurus bayi dalam kandungan. Saat Ida balik menuduh Lukman tak memperhatikannya selama kehamilan, Ida malah ditampar. Pertengkaran hebat pun terjadi. Kekerasan fisik menimpa Ida. Ia terus dimaki-maki, disebut isteri yang tak becus ngurus rumah tangga dan sebagainya. Ida sakit hati. Tak lama setelah itu, akhirnya pernikahan yang kedua Ida berakhir dengan perceraian.
Setelah kejadian cerai yang kedua kalinya itu, Ida mulai sakit-sakitan. Kondisi tubuhnya sangat menyedihkan. Kedua orang tuanya sudah sangat khawatir dengan kondisi Ida. Mereka pun sebisa mungkin merawatnya. Ada tetangga yang menyarankan untuk membawanya ke puskesmas yang letaknya lumayan jauh dari kampung ini. Tapi mereka menolak. Mereka malah memanggil dukun dari kampung tetangga untuk mengobati penyakit Ida. Karena mereka percaya dan terbiasa. Karena biayanya lebih murah bagi bapak dan ibu Ida yang hanya buruh tani. Tapi pengobatan dukun itu tak mampu membuat Ida sembuh. Setelah itu, hari demi hari, kedua orang tua Ida hanya pasrah. Mereka berusaha merawat Ida apa adanya.
Beberapa minggu kemudian, sakit demam Ida mulai lumayan sembuh. Ida sudah mulai bisa makan dan jalan-jalan. Tapi belakangan, kedua orang tua Ida mulai heran dan takut dengan kondisi Ida beberapa hari ini. Ibu Ida yang menceritakan dengan khawatir pada bapak tentang Ida yang berlama-lama melamun sendirian dan tak mau bicara sedikitpun pada ibunya sendiri. Jika ditanya, Ida tak pernah menjawab. Ibunya juga bilang, sesekali mendengar Ida bicara sendirian. Karuan saja bapak Ida kaget bukan kepalang. Mereka berdua akan menanyai Ida lama-lama, tapi mereka hanya mendengar Ida yang marah dan menangis. Ibu dan bapaknya khawatir, meski mereka masih lega karena Ida masih bisa makan dan mandi seperti biasanya. Hanya saja ia lebih sering menyendiri, tak mau bicara dengan siapapun. Tak jarang dia marah-marah dan sesekali bicara sendirian.
Orang tua Ida memutuskan kembali mengobati anaknya ke dukun. Saat Ida hendak dibawa ke dukun, Ida marah dan teriak-teriak bahwa ia sehat. Kemarahan itu memuncak saat bapaknya bilang Ida setengah gila, perlu diobati. Ida menangis sejadi-jadinya. Histeris. Ia bilang, ia tidak gila. Tapi orang tua Ida masih khawatir. Mereka tak habis akal. Bapaknya mengundang dukun dari luar kampung itu datang ke rumahnya. Tapi beberapa hari diobati dukun, Ida masih dianggap belum waras. Mereka terus bolak-balik ke tempat dukun membawa beberapa rupiah uang dan makanan seadanya sekedar membujuk dukun. Tapi alih-alih membuat Ida lebih baik, kedatangan dukun itu malah membuat Ida tambah marah. Ida mengaku tidak gila. Ida teriak. Ida menangis di kamarnya. Ida mengurung diri. Melihat kejadian itu, orang tua Ida akhirnya berhenti meminta dukun di luar kampung itu datang lagi ke rumah mereka.
Hari demi hari berganti. Orang tua Ida sesering mungkin melakukan pendekatan pada Ida. Setelah pendekatan yang begitu lama, sedikit demi sedikit Ida akhirnya mau bicara lagi dengan orang tuanya. Mereka senang melihatnya. Hingga beberapa bulan kemudian, datang seorang laki-laki dari kampung tetangga yang berniat melamar Ida. Lelaki itu bernama Asep. Kedua orang tua Ida bingung. Mereka menjelaskan kondisi Ida seperti setengah gila. Namun Asep tetap pada pendiriannya ingin menikahi Ida dan punya niat baik akan merawat dan menyayangi Ida. Mendengar ketulusan lelaki itu, Ibu Ida merestui pernikahan anaknya. Dengan begitu, orang tua Ida berharap anaknya tak stress lagi. Agar Ida dapat tertolong. Mereka merelakannya.
Tapi berbeda dengan Ida yang saat itu tidak langsung menerima lamaran lelaki dari kampung tetangga itu. Ida malah menangis lama. Ida masih trauma. Ida malah kembali berhari-hari mengurung diri di kamarnya. Orang tua Ida mulai berusaha mencoba menghiburnya. Mereka percaya, lelaki itu sangat baik. Dia mampu merawat Ida ketimbang mereka yang sudah tua. Mereka ingin Ida bahagia. Mereka ingin Ida tak lagi berduka...
***

Berminggu-minggu Asep melakukan pendekatan dengan Ida dan orang tuanya. Ia sering main ke rumah dan perhatian pada adik-adik Ida. Suasana akrab dibangun sedemikian rupa. Hingga akhirnya Ida sudah mulai dekat denga Asep. Orang tua mereka senang melihat Ida sudah mulai mau bicara dengan Asep, dengan orang lain, dengan mereka. Orang tua Ida berharap Asep adalah lelaki terakhir dalam hidup Ida. Mereka berharap Asep dapat membahagiakan Ida yang selama ini kecewa oleh laki-laki.
Hampir sebulan Ida dan Asep membangun keakraban, akhirnya Asep kembali mengajukan niat awal ingin menikahi Ida. Awalnya Ida mengatakan belum benar-benar siap. Tapi setelah Asep berjanji akan menanggung semua biaya perkawinan, tak akan menjadi beban Ida, memperhatikan orang tua dan adik-adiknya, maka Ida pun akhirnya setuju menikah.
Pernikahan pun digelar minggu pertama bulan berikutnya. Ida dan orang tuanya, juga adik-adiknya, senang bukan kepalang. Setelah pernikahan, Ida diboyong tinggal bersama keluarga suaminya. Berbulan-bulan pernikahan mereka adem ayem. Ida berharap ini pernikahan terakhirnya. Ida berharap Asep benar-benar menyayanginya. Tapi lama kelamaan keluarga Asep makin tak wajar memperlakukannya. Ida merasakan sikap Asep juga mulai berubah.
Ida merasakan, belakangan ini bukan kasih sayang yang diterimanya. Ida malah makin diperlakukan sebagai seorang pembantu rumah tangga. Ida mencoba bersabar dan menganggap semua itu cuma godaan. Ida mulai melupakan perasaan-perasaan tak enak selama ini dengan menyibukkan diri mengurus pekerjaan rumah. Lagipula belakangan Ida merasa tengah ngidam. Ida mulai menceritakan gejala kehamilan ini pada suaminya, dan berharap Asep mau lebih memperhatikannya. Ida berharap Asep mau membantu memenuhi kebutuhannya selama ngidam.
Tapi Ida sedih sekali ketika melihat sikap Asep yang tak tampak senang mendengar kabar kehamilan ini. Suatu hari, Ida ngidam ingin buah, Ida minta pada suaminya. Tapi Asep malah marah-marah. Alasannya capek lah, sibuk lah. Bahkan ada kejadian yang membuat Ida takut. Saat itu Ida minta dibelikan buah, tapi tak digubris. Lantas Ida bertanya kenapa akhir-akhir ini Asep berubah. Tapi bukan sikap ramah dan jawaban yang diterima Ida. Suaminya malah melempari Ida dengan pisau. Untungnya pisau itu cuma mengenai bilik rumah. Tapi saat itu Ida menganggap Asep sudah keterlaluan. Hal itu sering terjadi berulang kali, kadang pelemparan pisau atau benda lain dilakukan di tempat tidur. Ida ketakutan.
Hari demi hari sikap kasar suaminya sudah membuat Ida benar-benar tak tahan. Sikap yang tak ramah, ucapan yang memaki sampai kekerasan fisik yang dilakukan suaminya membuat Ida takut. Selama ini kasih sayang tak pernah hadir lagi. Keluarga Asep juga tak membantu kesulitannya. Mereka bilang itu urusan suami-isteri. Karena tak tahan dengan perlakuan suaminya, Ida kabur ke rumah orang tuanya. Ida menceritakannya semua yang dialaminya selama berumah tangga dengan Asep. Orang tua Ida terkejut bukan main. Ternyata penderitaan Ida berulang. Mereka terus menanyakan pada anaknya apakah Ida melakukan kesalahan pada suaminya. Ida bilang, Ida setia. Ida bilang, Ida isteri baik. Selebihnya Ida menangis lama. Ida sakit hati.
Orang tua Ida juga terkejut mengetahui kekacauan rumah tangga anaknya terjadi ketika Ida memulai kehamilannya. Mereka kembali merasa khawatir. Keesokan harinya, Asep datang dan meminta Ida untuk pulang, namun Ida tidak mau. Orang tua Ida juga menolak. Asep marah dan menganggap orang tua Ida sudah turut campur urusan rumah tangga mereka. Orang tua Ida terkejut melihat sikap Asep yang tiba-tiba berubah. Asep memaki Ida. Asep memaksa Ida pulang. Ida malah menjerit-jerit. Ida menolak.
Kejadian yang membuat orang tua Ida pedih melihatnya ketika suaminya menonjok perut Ida yang lagi hamil muda hanya karena Ida menolak dan melawan. Orang tua Ida berusaha menolong Ida, tapi Asep berlaku kasar. Orang tua Ida hanya bisa menahan marah. Mereka hanya bisa pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya dengar bahwa Asep bilang dia lebih berhak atas Ida. Bahkan Asep sesumbar bahwa ini adalah urusan rumah tangganya, orang tua jangan ikut campur, orang lain jangan ikut campur. Asep bilang Ida sudah berani melawan suaminya, jadi harus diberi pelajaran.
Akhirnya Ida terpaksa kembali ke rumah suaminya. Sepanjang jalan Ida menangis. Sepanjang jalan Ida dimaki. Bahkan bukannya ketentraman ketika Ida tinggal kembali di rumah orang tua Asep. Ida malah dimaki-maki isteri durhaka, melawan suami. Ida dituduh kurang ajar karena kabur tanpa sepengetahuan suami. Semakin sedih Ida mendengarnya. Berbulan-bulan tekanan berat penderitaan itu menindihnya. Sementara usia kehamilan semakin tua.
Lantas Ida mohon pada suaminya untuk pulang ke rumah orang tuanya karena usia kehamilan sudah tua. Ia ingin melahirkan di rumah bapak dan ibunya. Lama permintaan itu tak di gubris. Tapi, setelah berkali-kali meminta, akhirnya Asep mau mengijinkan Ida pulang. Selama kehamilan di rumah orang tuanya, Asep tak satu kalipun menengoknya. Bahkan ketika terasa akan melahirkan pun, Asep tak mau datang menemani Ida. Adik Ida sengaja menjemputnya. Tapi berulangkali Asep mengatakan ia sibuk. Keluarga Asep pun tak mau menengok Ida.
Sampailah tiba anak Ida lahir dengan bantuan paraji (dukun beranak). Anak Ida lahir dengan selamat. Tapi setelah melahirkan, penyakit Ida tambah semakin parah. Badan Ida demam. Hari demi hari, Ida tampak seperti orang linglung. Orang tua mereka khawatir dengan Ida. Mereka khawatir dengan kondisi tubuh Ida yang belum lama ini baru melahirkan. Lama kelamaan Ida semakin aneh. Ida sering tertawa dan menangis sendiri. Karena khawatir dengan kondisi anaknya, orang tua Ida berniat mencoba memeriksakan anaknya di sebuah Rumah Sakit di kota Bandung. Untuk biaya rumah sakit, orang tua Ida terpaksa menjual sawah, satu-satunya harta keluarga. Sawah yang tidak seberapa luasnya. Barangkali cukup untuk biaya pengobatan Ida.
Hari demi hari belum ada kejelasan dari pihak rumah sakit tentang perkembangan kesehatan Ida. Sementara tuntutan biaya dari rumah sakit semakin membengkak. Orang tua Ida kewalahan. Orang tua Ida kehabisan biaya. Mereka bingung. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk minta pertolongan dari pihak desa, namun sedikitpun tidak pernah ada bantuan untuk meringankan biaya pengobatan Ida. Setengah memaksa, ibu Ida meminta pertolongan aparat desa untuk mengantarnya ke rumah sakit. Mereka menolak. Tapi Ibu Ida terus meyakinkan bahwa ia dan keluarga kesulitan selama berada di rumah sakit. Mereka kesulitan dalam berkomunikasi, karena tidak bisa baca-tulis dan tidak mengerti bahasa Indonesia yang digunakan oleh dokter di rumah sakit. Akhirnya aparat desa mau menemani keluarga Ida selama di rumah sakit. Sampai akhirnya pihak rumah sakit mengabarkan bahwa Ida harus dirawat inap di Rumah Sakit HS. Selama di rumah sakit, orang tua Ida terus mengabari Asep tentang kondisi Ida. Lantas orang tua Ida memutuskan untuk menitipkan sementara anak Ida di keluarga Asep sembari mengharap mereka untuk memberi bantuan biaya pengobatan Ida. Tapi keluarga Asep tak memberi jawaban soal biaya. Mereka diam. Mereka bungkam...
***

Selama satu minggu dirawat di rumah sakit, orang tua Ida memohon pihak rumah sakit memberi izin mereka membawa Ida pulang ke rumah. Setelah dipastikan kondisi kesehatan Ida lumayan membaik, akhirnya pihak rumah sakit mengizinkan Ida pulang. Tapi pihak rumah sakit tidak menjamin kesehatan fisik dan mental Ida benar-benar akan baik jika tidak didukung perawatan dan penjagaan yang maksimal selama di rumah.
Sehari setelah Ida tinggal di rumah, Ida mulai menanyakan keberadaan anaknya. Orang tua Ida menceritakan bahwa anak Ida dititipkan pada keluarga Asep dengan bekal yang cukup. Ida mulai khawatir mendengar kabar itu dan dia minta untuk segera mengambil anaknya dari keluarga Asep. Bahkan Ida sempat marah-marah kenapa orang tuanya menitipkan anaknya pada keluarga Asep. Orang tua Ida hanya diam. Setelah malam tiba, barulah orang tua Ida segera berangkat berniat mengambil anak itu.
Setibanya di rumah keluarga Asep, orang tua Ida tak menemukan anaknya. Mereka juga tak menemukan Asep. Orang tua Asep mengatakan bahwa anak itu diambil Asep dan sudah dua hari Asep belum pulang ke rumah. Mereka mengaku tidak tahu Asep pergi kemana. Mereka justeru mengira Asep membawa anaknya ke rumah sakit.
Orang tua Ida menunggu lama kedatangan Asep di rumahnya. Akhirnya sebelum tengah malam, Asep datang. Tapi orang tua Ida tak menemukan anak itu. Mereka pun langsung bertanya dimana anak itu. Asep hanya diam. Setelah terus didesak, akhirnya dia mengaku bahwa anak itu telah dijual seharga satu juta lima ratus ribu rupiah. Uang hasil penjualan anak itu habis untuk membayar hutang dan kebutuhan sehari-harinya. Betapa terkejut orang tua Ida mendengar pengakuan itu. Mereka marah.
Kemarahan itu semakin hebat ketika Asep tak mau memberitahukan pada siapa dia menjual anaknya. Dia hanya mengaku telah menjualnya pada orang jauh. Pertengkaran pun tak terelakkan. Keributan pun pecah di rumah itu. Tapi orang tua Ida tak berdaya. Sampai akhirnya Asep mengusir orang tua Ida dengan kasar.
Tengah malam itu juga keluarga Ida pulang dengan tangan kosong, dengan hati yang sakit. Mereka takut pulang ke rumah. Mereka enggan menceritakan kabar buruk ini pada Ida. Mereka bingung. Sesampainya di rumah, orang tua Ida hanya menceritakan bahwa Asep belum memberi izin mereka mengambil anaknya. Ida marah. Ia pun berniat akan mengambilnya sendiri malam itu juga. Orang tua Ida semakin khawatir. Dengan berat hati dan tangis yang tak tertahankan, ibu Ida akhirnya menceritakan kejadian sebenarnya.
Terkejutlah Ida. Ia meraung-raung. Ia menjerit-jerit ketika mengetahui kabar anaknya dijual Asep. Ia menangis pilu. Histeris. Orang tua Ida tak tahan melihatnya. Beberapa orang tetangga datang menanyakan apa yang terjadi. Tetapi Ida murka. Ida marah pada siapapun. Ia mengusir siapapun. Ida mengamuk. Sebisa mungkin orang tua Ida mencoba mengendalikan anaknya. Sampai akhirnya Ida kelelahan. Tubuhnya lunglai. Suaranya parau. Selebihnya senyap. Hanya terdengar suara isak tangisnya. Hanya terdengar suara tangis orang tua, juga suara adik-adik perempuan Ida yang tiba-tiba terbangun dari tidur mereka.
Keesokan harinya, Asep datang ke rumah orang tua Ida. Ia mengancam. Ia menyuruh agar orang tua Ida tak menceritakan soal anak itu pada tetangga. Ia menyuruh mereka tak melaporkan kejadian ini pada polisi. Jika mereka berani lapor pada polisi, ia tak segan akan membunuh semua keluarga. Orang tua Ida ketakutan. Orang tua Ida sedih. Kejadian itu cukup lama hanya menyisakan ketakutan bagi orang tua Ida. Hanya menyisakan kesedihan di hati mereka setiapkali melihat Ida terbangun dan bersandar di bilik kamar, bicara sendiri, tertawa sendiri dan menangis sendirian. Mereka sedih. Mereka letih...
***

Hari demi hari, keanehan pada diri Ida semakin parah. Orang tua Ida akan melihat Ida yang tiba-tiba mengamuk, tiba-tiba tertawa. Mereka seolah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka sudah tak tahan melihat penderitaan anaknya. Akhirnya Ida terlantar. Kondisi tubuhnya tak terurus, rambut yang acak-acakan dan pakaian yang tak terawat. Akhirnya Ida juga luput dari perhatian orang tuanya. Ketika orang tua keluar rumah dan adik-adiknya main, para tetangga akan melihat Ida keluar dari rumah, berjalan sendirian dengan tatapan kosong, tertawa sendirian dan tak jarang mengamuk di jalanan. Orang-orang akan ketakutan.
Orang tua Ida malu dengan kejadian itu. Mereka buru-buru akan membawa Ida dari jalanan karena tak enak mendengar obrolan dari orang-orang kampung. Mereka kewalahan megurus Ida. Sampai mereka meminta bantuan pada Asep, tapi suaminya itu malah memperlakukan Ida seperti hewan. Dia akan menyeret Ida dan mengurungnya di dalam kamar terkunci. Ida dibiarkan teriak-teriak. Ia dibiarkan makan, buang hajat dan tidur di kamar yang sama. Ia diperlakukan dengan kasar dan tak wajar.
Melihat penderitaan Ida dan perlakuan suaminya itu, orang tua Ida memaksa Asep menceraikannya. Mereka berharap Asep tak lagi sewenang-wenang memperlakukan Ida. Bahkan ibu Ida memberikan Asep uang sebesar Rp. 50.000 untuk pengembalian mahar. Uang itu diambil Asep dan ia dengan kasar mengatakan bahwa ia sudah lama menceraikan Ida.
Tapi beberapa hari setelah pemberian uang dan perceraian itu, Asep bukannya pergi dari kehidupan Ida. Mantan suaminya itu malah semakin tak manusiawi memperlakukan Ida. Menurut cerita tetangga, suatu hari ketika Asep menemukan Ida duduk di pingir jalan, Asep tak segan meludahi dan memaki-makinya. Ida saat itu hanya menangis tersedu-sedu. Tak sampai disitu, Asep menyeret Ida ke rumah orang tuanya. Ia dengan kasar memasukkannya ke dalam kamar terkunci. Asep akan menamparnya berulangkali. Asep bilang, Ida sudah membuat malu keluarga. Ia bilang, Ida sering mengamuk dan membahayakan orang lain. Kejadian itu dilakukannya berulang-ulang. Tapi beberapa hari kemudain, Asep tak pernah lagi muncul ke rumah orang tua Ida. Dia kabur. Menurut cerita tetangga, Asep sudah punya pacar lagi.
Orang tua Ida sungguh tak bisa berbuat apa-apa lagi melihat kejadian demi kejadian yang menimpa Ida selama ini. Keinginan untuk mengobati Ida tak kunjung terlaksana. Harapan akan bantuan rumah sakit dan pihak desa tak pernah ada. Harapan akan bantuan tetangga tak kunjung hadir. Harapan akan bantuan mantan suaminya juga malah mengecewakan. Tapi tak henti orang tua Ida terus meminta bantuan siapapun untuk pengobatan anaknya.
Dengan perawatan apa adanya, orang tua Ida terus berusaha mengurus Ida semampu mereka. Mereka tetap bersabar menjalaninya. Tapi orang tua Ida sangat menginginkan anaknya bisa berobat lagi, tapi biayanya tak ada. Untuk menghidupi kebutuhan keluarga sehari-hari saja mereka kesulitan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan Ida dan adiknya, ibu Ida menjadi pemulung padi bekas sisa panen dan mengandalkan penghasilan adik Ida bekerja jadi buruh pabrik. Perjuangan ibu Ida tak pernah berhenti. Ia terus mengharap bantuan orang-orang kampung. Ia terus minta bantuan dari pihak desa dan rumah sakit untuk pengobatan Ida. Meskipun seolah-olah tak pernah ada yang peduli.
Sementara Ida tetap dengan kondisi memilukan. Menurut cerita tetangga, penyakit Ida mengamuk tak pernah sembuh. Tapi anehnya, kalau penyakitnya tak kambuh, Ida masih bisa mengenal nama orang tuanya dan tahu jumlah uang untuk jajan di warung tetangganya. Mereka juga sering melihat Ida jalan-jalan di kuburan di kampung itu. Ida akan duduk berlama-lama disana, tertawa dan menangis sendiri. Mereka akan melihat Ida disana hampir setiap hari, bahkan sampai malam tiba, sampai Ibu Ida mengajaknya pulang.
Harapan Ida untuk berumah tangga tak pernah bahagia. Pengalaman-pengalaman selama masa perkawinannya membuatnya menderita. Cukup lama orang tua Ida hampir kehilangan komunikasi dengan anaknya. Mereka hanya mendengar Ida terus menanyakan dimana keberadaan anaknya. Mereka benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Mereka hanya tahu, anak Ida tak pernah kembali lagi. Mereka hanya tahu, anak Ida telah dijual mantan suaminya seharga satu juta lima ratus ribu rupiah...

Bandung, Oktober 2007
http://Bangkawarah.blogspot.com
mifka15@yahoo.com

Label:

posted by wscbandung @ 13.41,


0 Comments: